Rabu, 18 Juli 2012

Menanti Terbitnya sang Mentari

Suasana masih tampak lengang. Angin berhembus lembut menerpa pohon – pohon mangga yang mulai berbuah. Kicauan burung terdengar begitu riang. Sinar mentari hangat menyinari bunga bougenvil yang mulai mekar. Warna oranye menyelimuti langit di ufuk barat. Begitu indah. Hingga bertahun – tahun, baru kali ini aku merasakan rindu. Pilu. Haru. Aku rindu rumah. Ya, rumah.
Aku memacu sepeda motorku lebih kencang lagi. Seakan – akan jalanan ini hanya milikku sendiri. Tak peduli kiri kanan dan belakang. Setiap tikungan kulahap habis. Terlebih lagi jalanan lurus, tarikan gasku pun semakin keras. Aku sudah tak sabar lagi!
“Nak, kapan kamu pulang ke rumah?” tanya ibuku dari ujung telepon.
“Kapan-kapan,” jawabku ketus.
“Itu lho, ada penerimaan mahasiswa baru. Ambil D3 aja, Cuma 3 tahun kok.”
“Ga mau. Udah dibilangin berapa kali sih, hobiku tu bukan sekolah!”
Suara isak tangis ibu mengakhiri pembicaraan kami.
Itu percakapanku dengan ibu tiga bulan yang lalu. Saat itu, aku masih getol-getolnya menekuni hobi ‘gila’ku. Aku sudah lama hidup disini. “Kenapa harus pulang?” batinku. Aku sudah lama hidup begini. “Kenapa harus kuliah?” gumamku menimpali.
Aku terus melaju. Kencang, kencang, dan lebih kencang lagi. Tak kuhiraukan apa yang bergejolak dalam hatiku. Inilah penentuan nasibku. Segala hal yang telah kuraih selama ini tak akan ada artinya jika aku menyerah hari ini. Rumah. Uang. Kawan. Adikku. Bapak. Ibu. Ya, ibu. Akan kubuktikan pada ibu. Aku tak pelu kuliah. Ibu salah!
***
“Praaaaang!”
Bapak membanting piring ke lantai. Sontak aku bertambah marah.
“Aku ini sudah gede pak! Masak diaturatur terus! Bosan!!”
Suasana tegang.
Raut muka bapak merah padam. Begitu pula aku. Nafas kami tersengal. Memburu. Kemarahan ini sudah memuncak. Ibu terlihat hanya menangis di sudut sofa ungu.
“Kamu ini anak bapak. Inget! Jangan pernah nagih bapak di akhirat nanti! Sudah dinasihatin berkali-kali masih tetep ngeyel. Ga sholat, pulang larut malam, ga nyuci, tidur sampai siang. Mau kamu tu apa Ris?! Yang kamu anggep omongannya tu sapa?!” bentak bapak.
Aku berdiri. Menyambar jaket di atas kursi. Pergi. Kubanting pintu sekuat-kuatnya, “Braaaaakk!”
Sayup-sayup kudengar suara ibu menenangkan bapak.
“Sudah lah pak. Aris tu sudah besar,” suara lembut ibu mencegah bapak yang hendak keluar.
Aku sudah tak peduli. Kunyalakan mesin sepeda motorku. Langsung tancap gas. Pergi, entah kemana. Malam ini aku benar-benar muak.
***


“Hai, bro! Lama ga keliatan. Kemana aja kamu?”
Tomi yang duduk di di atas Tiger-nya menyapaku dari kejauhan. Tampak ada dua anak lainnya yang duduk di dalam pos ronda. Asap rokok mengepul, memenuhi pos tersebut. Memang sudah seminggu aku tak bertemu dengan mereka. Bantu – bantu tetangga yang lagi punya hajat.
“Sori bro, ga sempet kesini. Banyak makanan di rumah. Ha..ha..ha..”
Kami pun tertawa bebarengan. Masalah di rumah tadi rasanya sudah hilang tak tau kemana. Beginilah hidup. Bahagia. Aku tersenyum sendiri pada diriku. Sinis.
“Ada kabar apa bro?” aku membuka obrolan.
“Wah, kemarin kamu ga ikut sih. Seru men!” kata Andri yang ada di pos ronda, beringsut dari duduknya. Rambut panjangnya dikucir seperti ekor kuda.
“Lho, emang ada apaan sih?” tanyaku menyelidik. Mataku menatap mereka bertiga satu persatu. Meminta jawaban.
Andra membuang putung rokonya yang sudah habis. Beralih posisi, duduk di pinggiran pos ronda. Spertinya dia yang akan bercerita. Memang anaknya suka ngomong. Kalau lagi cerita pasti bersemangat. Menggebu-gebu.
Kami suka memanggil Andra dan Andri dengan saudara ‘kembar’, karena nama mereka yang mirip. Saudara kembar, beda ayah, lain ibu. Ya, begitulah, kalau aku dan Tomi lagi suka usil, ngledekin mereka berdua. Apalagi si Andra, pasti selalu jadi sasaran ledekan kami. Pasalnya, dia beda banget sama si Andri. Andri berambut panjang lurus, sedangkan Andra berambut pendek dan ikal, keriting.
“Gini bro! Kemarin ada anak baru di jalanan. Anak pindahan dari Bandung. Bawaannya Satria FU. Tiger si Tomi aja kalah. Kalah jauuuuh coy! Tiga menit! Bayangin, 3 menit!” Andra nyerocos bak hujan lebat di siang bolong sambil mengacungkan tiga jarinya.
“Motor yang lain pun ga ada yang berani nglawan bro. Parah! Dan lebih parahnya lagi, jokinya ceweeek!” ujar Andra melanjutkan ceritanya.
Aku hanya bengong mendengar cerita Andra. Benarkah seperti itu?? Aku masih terdiam di atas sepeda motorku. Ga mungkin! Aku masih belum percaya.
“Bener deh. Kalau kamu belum percaya sama kehebatannya mending sekarang kita kesana aja. Gimana?” ajak Tomi membuyarkan kebengonganku.
“Oke! Kita cabut!”
Suara knlapot kami menderu-deru. Membahana. Membuncah keheningan malam. Kemudian menghilang di ujung gang.
***
“Pak, Aris tu masih seperti anak kecil. Jadi ngingetinnya ndak bisa dengan cara keras,” ibu mencoba menenangkan diri bapak.
Sejenak, ruang tamu itu lengang. Sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar riuh. Diselingi suara burung hantu yang terdengar lamat-lamat.
“Sudah dua tahun cuti sekolah. Katanya mau nyari kerja dulu. Ee, ga kerja juga. Disuruh nerusin kuliah juga ga mau. Maunya apa tu anak,” jelas bapak dengan nada kesal.
“Iya, ibu juga tahu. Aris tu ndak seperti Husna, yang suka dengan akademis. Aris tu suka dolan, jalan-jalan sama temennya.”
“Nah, temen-temennya itu yang ngasih pengaruh buruk. Main sampe malem. Paginya tidur sampe siang. Ikut-ikutan merokok. Dikasih tau masih aja bandel. Gimana ga bikin jengkel tu?”
Bapak meremas-remas jari tangannya sendiri. Amarahnya belum begitu reda.
Suasana pun hening kembali. Ibu masih berpikir keras, mencari cara untuk mendamaikan keduanya. Mencari cara untuk menasihati Aris.
***
Malam tu pun aku berduel dengan cewek Bandung yang konon kata si Andra hebatnya bukan main. Kali ini kami bertaruh sirkuit favoritku. Jalanan yang selama bertahun-tahun menjadi milikku, menjadi rute kebanggan sepanjang ‘karir’ balap liarku.
Medan yang cukup gelap. Hanya diterangi beberapa lampu jalan. Jalanan berbukit-bukit yang penuh dengan tikungan. Hanya ada beberapa track lurus. Sebelah kanan gunung, sebelah kiri tebing yang dalam dan curam. Tak ada pilihan. Aku bertaruh jalanan ini akan menjadi milik sang pemenang. Sudah empat kali aku bertanding dengannya sejak cerita Andra di pos ronda. Dan kami seri, dua sama. Malam ini adalah malam penentuan!
“Okay?” tanya joki penantang itu padaku.
“Oke. Deal!” sahutku.
Balapan pun dimulai!
***
Aku memacu sepeda motorku lebih kencang lagi. Seakan – akan jalanan ini hanya milikku sendiri. Tak peduli kiri kanan dan belakang. Setiap tikungan kulahap habis. Terlebih lagi jalanan lurus, tarikan gasku pun semakin keras. Aku sudah tak sabar lagi!
Hingga akhir lap aku masih ingat. Namun, di tikungan terakhir, saat aku memikirkan ibu, tiba – tiba…. Gelap.
“Nak, kapan kamu pulang?”
Suara itu kudengar, begitu lembut.

EPILOG
“Hufffh…” aku menarik napas dalam-dalam.
Begitu lega. Tak terasa buiran-butiran kristal itu meleleh di pipiku.
Sore ini memang masih lengang. Warna senja oranye berubah kemerah-merahan. Petang mulai datang. Hinggap di rumah yang jarang kudatangi ini.
Ya, aku benar-benar ada di rumah. Namun, kerinduan itu tak pernah hilang meski aku di rumah sendiri, di tempat kelahiranku. Aku benar-benar rindu.
Aku menyesal. Benar-benar menyesal. Mengapa sakit jantung ibu kambuh di saat aku butuh. Sungguh, aku menyesal. Ingin rasanya aku kembali pada tiga bulan yang lalu. Aku ingin mengulangi waktu!
“Hufffh…” sekali lagi kuambil napas lebih dalam.
“Kak Aris!” teriakan adikku, Husna, membuyarkan lamunanku.
“Masuk ke dalam yuk! Udah mau buka tuh,” imbuhnya setelah dekat denganku.
“Yuk!” jawabku dengan memasang senyum sebaik mungkin.
Husna membalas senyumku dengan senyumnya yang lebih lebar. Tanpa berkata sepatah kata pun. Seolah-olah dia tau apa kulamunkan barusan, apa yang kuinginkan. Sejak lulus dari SMA dia memang tumbuh semakin dewasa. Aku malu pada diriku sendiri.
Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Husna mendorong kursi rodaku. Membawaku masuk ke dalam rumah. Ya, rumah. Aku telah pulang ke rumah.
*END*
Ya Allah ya Rabb…
Aku rindu dengan RamadhanMu
Ingin rasanya setiap bulan menjadi bulan Ramadhan
Ya Allah ya Rabb…
Aku bertaubat kepadaMu
Bertaubat atas dosa-dosaku
Ya Allah ya Rabb…
Ramadhan ini pintu  pintu surga terbuka
Maka bukakanlah untukku dan jangan Kau tutup kembali bagiku
Ramadhan ini pintu – pintu neraka tertutup
Maka tutuplah untukku dan jangan Kau buka kembali bagiku
Ramadhan ini syaithan-syaithan dibelenggu
Maka aku mohon kepadaMu ya Allah, jangan pernah lagi syaithan mengendalikan diriku

Jogja, 18 Juli 2012, 15.50 WIB
28 Sya’ban 1433 H
Thanks to my little brother,:) semoga kita selalu dalam lindungan, hidayah dan rahmat Allah’

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. bertanya kepada Rasulullah,”Wahai Rasulullah, apa amal yang paling utama di bulan ini?” Rasulullah menjawab,”Wahai Abal Hasan, amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.”
 (thanks a lot for uda:)

Rabu, 11 Juli 2012

Mengejar Bintang


“Denooook!” suara teriakan ibu dari halaman terdengar hingga ke kamarku.
Aku terbangun mendengar teriakan ibuku barusan. Setengah kaget aku meloncat dari tempat tidur. Berlari kecil ke teras rumah.

“Sudah dibilangin berkali – kali, masih aja bandel,” kata ibu setengah mengomel.

Aku yang sudah sampai teras rumah langsung tertawa cekikikan.
Sari, adik bungsuku yang berumur 4 tahun, sedang dimandiin ibu. Dia habis bermain lumpur dengan teman – temannya. Sempat kulihat tadi sekujur tubuhnya penuh lumpur, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya terlihat bola matanya yang hitam dan giginya yang putih bersih ketika tersenyum menyeringai menjawab omelan ibu. Innocence.

Tadi pagi memang hujan hujan lebat yang tak kunjung reda hingga siang hari.
Gerimis mengawalku dari sekolah sampai rumah. Pulang sekolah bersepeda dengan teman – teman pada cuaca seperti itu sangat mengasyikkan. Melewati sawah – sawah nan hijau, kebun salak, pemukiman penduduk yang masih jarang, dan jalan – jalan setapak yang belum beraspal. Tak ada debu beterbangan. Belum ada asap kendaraan bermotor yang menyesakkan dada. Pokoknya semua terasa fresh. “Hemm, segarnyaaa,” gumamku.

“Kak Anis, tadi ngga ke rumah bu Budi?” tanya ibuku setelah selesai mandiin si Bandel, begitu julukanku pada Sari. Meskipun aku tak kalah bandel dengan dia tapi tetap saja aku menyamatkan ‘gelar’ itu padanya.
Ngga Bu. Belum hafal,” jawabku singkat sambil tersenyum was-was.
“Kalau belum hafal, nanti kan diajarin sama bu Budi,” ibu menasihatiku sembari mengeringkan tubuh Sari dengan handuk biru, warna kesukaannya.
“Tapi,…”
“Iya, bu Budi kan orangnya baik. Iya kan Bu?” kata Sari memotong omonganku.
“Tapi Anis kan malu kalau belum hafal Bu,” jawabku sambil menjulurkan lidah pada Sari. Sari diam saja, masih mencari pembelaan dari ibu. Bola matanya berbinar mengharapkan sesuatu.
“Ya sudah, nanti malam kak Anis belajar menghafal sama ibu. Besok sore harus latihan ke rumah bu Budi. Tinggal seminggu lagi kan?”
“Iya Bu,” jawabku pendek, tersenyum sambil menjulurkan lidah lagi ke arah Sari. Kali ini dia menyerah, wajahnya tertunduk lesu.
“Horeeee!” sorakku dalam hati.

***
Adzan ashar sudah berkumandang setengah jam yang lalu.
Adikku sedang belajar naik sepeda dengan temannya, anak tetangga sebelah rumah. Kulihat dari jendela kamarku dia tampak ‘iri’ melihat temannya sudah bisa bersepeda dengan lancar.
“Yani, gantian dong. Kamu kan sudah bisa. Dua putaran saja ya?” pinta adikku pada temannya.

“Huffh…” Aku yang sedari tadi duduk menghadap secarik kertas mendengus kesal. Sehabis sholat ashar tadi langsung masuk kamar dan berusaha berkonsentrasi. Tapi belum ada hasil, nihil. Sebaris ingat, ditambah baris lain, baris yang sebelumnya lupa lagi. Tiba-tiba saja pikiranku buyar. Buyar hanya gara-gara satu kata. Satu benda. Apalagi ditingkahi suara adikku dan temannya yang sedang berlatih sepeda.
“Huffh…” sekali lagi aku mendengus kesal.

“Sayang, kamu ngga ke rumah bu Budi lagi sore ini?” suara ibu mengagetkanku yang sedang melamun ria.
“Eh, eng...ngga Bu,” jawabku kaget.
“Masih belum hafal ya? Ya sudah, nanti malam belajar menghafal lagi sama ibu. Ibu mau berangkat pengajian ke masjid. Sekarang dihafalin dulu sambil jaga adikmu ya. Assalamu’alaykum.”
“Baik Bu. Wa’alaykumsalam,” jawabku sembari mencium tangan ibuku.
Malam kemarin lusa memang aku belajar mengahafal puisi dengan ibu. Tapiiiii, masih belum hafal juga. Ayah sempat tertawa kecil melihat ibu yang gemes mengajariku.
“Dua baris dulu saja yang dihafalin,” begitu kata beliau.
Kemarin sore dengan rasa malu yang tertahan aku ke rumah bu Budi. Alhamdulillah, bu Budi dengan sabarnya melatih diriku yang hanya bermodal dua baris puisi! Berlatih vocal, berlatih mimik, berlatih intonasi. Dan pastinya, sebelum pulang beliau memberi peer kepadaku dengan setengah berbisik,”Besok ditambah dua baris lagi ya kak Anis.” Aku nyengir, mengangguk.

“Aduuuuuuhh…!”
Aku melongok keluar jendela. Kulihat Sari terjatuh dari sepedanya. Lututnya yang berdarah ditiup-tiup.
“Kamu ngga kenapa-kenapa kan?” tanya Yani cemas.
Gapapa kok. Ayo lanjutin!”
Si Bandel itu beringsut dari duduknya lalu mengangkat sepeda dan mulai menaikinya kembali.
“Alhamdulillah, syukurlah. Belum sampai nangis,” batinku.

Tak berapa lama.
“Haduuuh…” teriakan adikku kembali terdengar. Kali ini lebih lirih.
“Besok lagi ya main sepedanya Ri?” kata Yani ingin mengakhiri ‘penderitaan’ Sari yang terluka lengan kirinya.
“Ga mau, harus bisa sekarang!” Sari tetap saja menaiki sepeda Yani dengan santainya. Tapi, sampai beberapa meter terjatuh lagi. Kali ini dia tak berteriak. Dinaiki lagi sepeda mini itu untuk mencapai finish satu putaran halaman.

“Horeeeee! Pinish!” teriak Sari mengakhiri perjuangannya hari ini.
“Horeeee!” Yani ikut bersorak riang sambil tepuk tangan.
“Udahan dulu deh.Besok lagi ya Yan. Besok aku pasti bisa lancar.” Senyum Sari mengembang. Bangga.
“Oke. Aku pulang dulu ya Ri,” sahut Yani.
“Oke. Aku mau ganggu kak Anis dulu. Minta diobatin lukanya,” senyum kecilnya tergambar seolah habis menemukan ide cemerlang.
“Daaaaah Sari!”
“Upss,” aku beringsut ke kertas puisiku. “Awas ya kalau minta bantuan. Lagi sibuk. Dasar bandel!” gumamku.
Namun, ada sesuatu yang tak kusadari yang memberiku sebuah pelajaran berharga. Yang membuatku rajin berlatih ke rumah bu Budi. Tersenyum sendiri.

***
Akhirnya, seminggu pun berlalu.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun telah tiba.
Diri ini rasanya sudah tak menginjakkan kaki di bumi. Tak terbayangkan.
Gugup. Harap. Cemas. Takut. Bercampur jadi satu.

Lomba baca puisi antar SMP se-Kecamatan sudah dimulai sejak tadi pagi. Sudah setengah hari berjalan hingga tiba saatnya untuk menentukan sang Pemenang.
Ibu dan adikku mengantarku ke Kecamatan tadi pagi. Menunggu hingga giliranku tiba. Cukup lama sampai-sampai adikku berkata cemas,”Kak Anis sudah daptar belum sih? Kok ga dipanggil-panggil?”
Aku dan ibuku hanya tersenyum kecil. Ibu tak terlalu peduli dan hanya berkata,”Sudah sayang. Kak Anis kan sudah pake nomer tu di dadanya.”
Ibu menunjuk nomor pesertaku. Angka 32 tertera disana. Berbentuk bintang dengan warna biru langit. Warna kesukaan Sari. Dan aku tahu kesukaannya yang lain. Tersenyum lagi.

“Juara kedua lomba baca puisi tingkat Kecamatan adalah…”
Suara juri membuat hatiku berdegup kencang. Juara tiga sudah diumumkan tadi. Aku rasa aku sudah berusaha keras 4 hari ini. Semua puisi sudah kuhafal. Lengkap dengan intonasi dan mimiknya. Harapanku pada satu kata itu kembali menyeruak. Satu benda. “Mungkin. Pasti mungkin,” batinku cemas.
“Anisa!”
Aku mendongak kaget. Apa?! Siapa?!
Aku menoleh ke kanan. Ada seorang yang melambaikan tangan. Mendekat.
“Bagaimana hasilnya? Udah diumumin kan?” kata Ayu, teman sekelasku.
“Alhamdulillah. Lancar. Ini udah nyampe juara kedua. Yang lain mana? Kok ga ikut?” tanyaku lega.
“Yang lain langsung pulang. Ngerjain PR dari pak Hasan.”

Suara tepuk tangan penonton terdengar riuh rendah. Juara kedua sudah diumumkan. Dan bukan aku. Gugup. Harap. Cemas lagi.
“Dan inilah yang dinanti-nanti! Juara pertama lomba puisi kali ini adalah…” suara juri kembali terpotong untuk membat semua peserta berdebar-debar.
“Anisa… Purwanti!”
Aku setengah tak percaya. Gugup itu tiba-tiba menghilang. Menghilang bersama rasa cemas. Debar jantung juga mulai reda. Panas dingin mulai terkendali. Dan rasa harap itu pun juga hilang. Sirna.
“Kak Anis kan namanya Anisa Pertiwi. Kenapa yang dipanggil Anisa Purwanti Bu?” tanya Sari dengan wajah polosnya.
Ibu tersenyum lalu berkata, “Itu artinya pialanya buat kak Anisa Purwanti, belum buat kak Anisa Pertiwi. Kalau kak Anis ikhlas, Allah akan ngasih yang lebih baik buat kak Anis.” Ibu mengusap lembut kepala adikku yang terbalut kerudung mungil. Sari manggut-manggut. Sok ngerti.
“Terus Allah ngasih apa Bu ke kak Anis? Apa yang lebih baik dari piala? Piala itu kan bagus. Guede. Kinclong.” Tangan Sari ikut-ikutan menggambarkan bentuk piala itu.
“Allah ngasih ini!” Aku mengulurkan tanganku ke arah muka Sari.
“Asyiiiiiik! Coklaaaaat!”
“Kak Anis dapet coklat dari mana?” Setelah disambar, sepotong cokelat itu langsung dibuka oleh Sari.
Aku tersenyum, “Dari toko lah. Masak dari bapak juri.”
“Ayo pulang! Sudah bubar sekolahnya,” ajak ibuku.
“Eh, tapi kenapa kak Anis ngasih coklat ke Sari?” tanyanya sambil mengunyah coklatnya.
Aku tak mempedulikan pertanyaan Sari. Tak kujawab pertanyaannya dengan serius, “Ada deh.” Dia terus merengek sambil terus berjalan menuju gerbang sekolah. Sampai akhirnya dia menyerah, “Kak Anis baik deh.”
Aku pulang dengan perasaan lega. Ada hal yang jauh berharga daripada sebuah piala. Terima kasih Sari.^^

“Ya Allah, ya Rabb kami. Kumpulkanlah kami dengan saudara-saudara kami di jannahMu. Aamiin.”

Jogja, 6 Juli 2012
Beradu ketikan dengan palu pak tukang.
 thanks a lot for my friend whose write this story for me^^

Search Box

Followers

Search This Blog