Akhir
– akhir ini masalah korupsi mulai mencuat lagi dibicarakan publik, terutama
dalam media massa baik lokal maupun nasional. Topik yang dibahas mulai dari
kasus – kasus utama yang belum selesai hingga sekarang sampai pada isu
penghabisan dana di penghujung tahun. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya
tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, korupsi merupakan tindakan yang
merugikan negara dan dapat merusak sendi – sendi kebersamaan bangsa.
Tindak
korupsi pada prakteknya sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas
karena kesulitan dalam memberikan pembuktian – pembuktian yang eksak. Selain
itu, sangat sulit mendeteksi terjadinya korupsi dengan dasar – dasar hukum yang
pasti. Akses perbuatan korupsi merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai
baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur
pemerintahan serta menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan
(Revida, 2003).
Masih
menurut Revida (2003), korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok
masyarakat yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak.
Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan
uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati.
Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Kata “korupsi” sendiri berasal
dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu
bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal
istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis)
dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian (Karsona, 2011).
Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa korupsi ialah sebuah perilaku buruk yang
kemudian menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena kebiasaan (habit)
ini berkembang dari masa ke masa dan tidak hanya dilakukan oleh sebuah kelompok
atau daerah maka akhirnya kebiasaan ini “membudaya”. Kultur yang memandang
sebuah standar kebenaran dengan uang atau materi dapat dikategorikan sebagai
kultur yang buruk, tidak jujur, dan tidak bermoral. Hal ini karena memandang
kebenaran tidak dari sudut yang benar dan tidak jujur. Bagaimana mungkin
tindakan mencuri dikatakan benar karena pencuri tersebut membayar sejumlah uang
untuk menutupi kasus pencuriannya?
Contoh
lain dapat diambil dari kemajuan zaman sehingga memacu pembangunan di semua
sektor kehidupan. Di satu pihak, semakin mendesaknya usaha – usaha pembangunan yang
diinginkan, sedangkan di pihak lain proses birokrasi relatif lambat, sehingga
setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat yaitu memberikan
imbalan – imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktik ini
akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah
dan masyarakat sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk “orang kaya baru”
(OKB) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material).
Dengan
demikian, agar bangsa dan negara ini tidak roboh karena faktor internal maka mau
tidak mau korupsi harus diberantas. Korupsi dapat menggerogoti sikap mental dan
moral bangsa sehingga menimbulkan sikap saling tidak percaya dalam masyarakat
dan pada akhirnya akan membawa bangsa ini ke jurang kehancuran. Sebenarnya
bangsa ini sudah memiliki banyak pengalaman buruk lewat hancurnya beberapa
kerajaan di Indonesia, mulai dari kerajaan Singosari hingga “kerajaan” orde
baru. Akan tetapi, masyarakat seolah – olah masih terbawa mimpi buruk itu dan
belum sadar untuk segera bangkit dari keterpurukan. Kebangkitan itu dapat
diwujudkan dengan tindakan yang fokus dan sungguh – sungguh dalam menanggulangi
korupsi. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, baik yang bersifat preventif
maupun yang represif. Selain itu, penanggulangan korupsi ini harus dilakukan
oleh semua pihak, baik pemerintah maupun segenap elemen masyarakat.
Mahasiswa,
sebagai agen perubahan, diharapkan mampu ikut serta mengatasi permasalahan
bangsa ini terutama dalam hal korupsi. Sebagai bagian dari elemen masyarakat
yang berkarakter intelek, jiwa muda, dan idealis, mahasiswa harus mengambil
fungsi dan perannya dalam upaya menanggulangi masalah korupsi. Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga
diharapkan dapat tampil di depan menjadi motor penggerak. Mahasiswa didukung
oleh kompetensi dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia, kemampuan
berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi
yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen
perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi
kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga
negara dan penegak hukum (Wibowo dan Puspito, 2011).
Dengan
bekal sebagai manusia terdidik, mahasiswa diharapkan mampu mengubah kebiasaan
hidupnya dengan menanamkan nilai – nilai antikorupsi. Nilai – nilai yang
dimaksud adalah kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung
jawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Penanaman nilai –
nilai tersebut diharapkan mampu memberikan dampak yang baik yaitu terbebasnya
masyarakat dari masalah korupsi. Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa
sehingga apabila nilai – nilai antikorupsi sudah tertanam sejak awal maka
memutus rantai “budaya” korupsi yang telah lahir sejak lama.
Menurut Wibowo dan Puspito (2011), keterlibatan mahasiswa dalam
gerakan anti korupsi dapat dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu di lingkungan
keluarga, lingkungan kampus, masyarakat sekitar, dan tingkat
lokal/nasional. Lingkungan keluarga dipercaya dapat menjadi tolok ukur yang
pertama dan utama bagi mahasiswa untuk menguji apakah proses internalisasi antikorupsi
di dalam diri mereka sudah terjadi. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan antikorupsi
di lingkungan kampus tidak bisa dilepaskan dari status mahasiswa sebagai
peserta didik yang mempunyai kewajiban ikut menjalankan visi dan misi
kampusnya. Sedangkan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan antikorupsi di
masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait dengan status mahasiswa
sebagai seorang warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
masyarakat lainnya.
Hal
yang perlu diperhatikan oleh mahasiswa dalam melakukan peran gerakan
antikorupsi adalah sikap idealis dan kritis yang ada sejak mahasiswa harus
selalu dijaga dan dibawa pasca lulus dari dunia kampus. Seminar, lokakarya,
pamflet – pamflet, dan sarana gerakan antikorupsi lainnya diharapkan selalu
membekas dalam diri mahasiswa. Dengan demikian, karakter antikorupsi tak akan
luntur dan bahkan akan diwariskan ke generasi berikutnya. Dengan terbebasnya
bangsa ini dari korupsi maka pembangunan bangsa ini dapat berjalan dengan
lancar serta membawa bangsa ini kepada kejayaan dan kesejahteraan.
Referensi
Revida, Erika. 2003. Korupsi
di Indonesia: Masalah dan Solusinya. USU Digital Library.
Karsona, Agus Mulia.
2011. Pengertian Korupsi. Dalam Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi/ Anti Korupsi. Jakarta: Kemendikbud.
Wibowo, Aryo P. dan
Puspito, Nanang T. 2011. Peranan Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi.
Dalam Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi/ Anti Korupsi.
Jakarta: Kemendikbud.
BIODATA
Iman
Sabarisman
Wonogiri,
26 Oktober 1988
085229654423
Mahasiswa
Pascasarjana Mayor Teknologi Pascapanen FATETA IPB