Aku
memacu sepeda motorku lebih kencang lagi. Seakan – akan jalanan ini hanya
milikku sendiri. Tak peduli kiri kanan dan belakang. Setiap tikungan kulahap
habis. Terlebih lagi jalanan lurus, tarikan gasku pun semakin keras. Aku sudah
tak sabar lagi!
“Nak,
kapan kamu pulang ke rumah?” tanya ibuku dari ujung telepon.
“Kapan-kapan,”
jawabku ketus.
“Itu
lho, ada penerimaan mahasiswa baru. Ambil D3 aja, Cuma 3 tahun kok.”
“Ga
mau. Udah dibilangin berapa kali sih, hobiku tu bukan sekolah!”
Suara
isak tangis ibu mengakhiri pembicaraan kami.
Itu
percakapanku dengan ibu tiga bulan yang lalu. Saat itu, aku masih getol-getolnya
menekuni hobi ‘gila’ku. Aku sudah lama hidup disini. “Kenapa harus pulang?”
batinku. Aku sudah lama hidup begini. “Kenapa harus kuliah?” gumamku menimpali.
Aku
terus melaju. Kencang, kencang, dan lebih kencang lagi. Tak kuhiraukan apa yang
bergejolak dalam hatiku. Inilah penentuan nasibku. Segala hal yang telah kuraih
selama ini tak akan ada artinya jika aku menyerah hari ini. Rumah. Uang. Kawan.
Adikku. Bapak. Ibu. Ya, ibu. Akan kubuktikan pada ibu. Aku tak pelu kuliah. Ibu
salah!
***
“Praaaaang!”
Bapak
membanting piring ke lantai. Sontak aku bertambah marah.
“Aku
ini sudah gede pak! Masak diaturatur terus! Bosan!!”
Suasana
tegang.
Raut
muka bapak merah padam. Begitu pula aku. Nafas kami tersengal. Memburu.
Kemarahan ini sudah memuncak. Ibu terlihat hanya menangis di sudut sofa ungu.
“Kamu
ini anak bapak. Inget! Jangan pernah nagih bapak di akhirat nanti! Sudah
dinasihatin berkali-kali masih tetep ngeyel. Ga sholat, pulang larut malam, ga
nyuci, tidur sampai siang. Mau kamu tu apa Ris?! Yang kamu anggep omongannya tu
sapa?!” bentak bapak.
Aku
berdiri. Menyambar jaket di atas kursi. Pergi. Kubanting pintu sekuat-kuatnya,
“Braaaaakk!”
Sayup-sayup
kudengar suara ibu menenangkan bapak.
“Sudah
lah pak. Aris tu sudah besar,” suara lembut ibu mencegah bapak yang hendak
keluar.
Aku
sudah tak peduli. Kunyalakan mesin sepeda motorku. Langsung tancap gas. Pergi,
entah kemana. Malam ini aku benar-benar muak.
***
“Hai,
bro! Lama ga keliatan. Kemana aja kamu?”
Tomi
yang duduk di di atas Tiger-nya menyapaku dari kejauhan. Tampak ada dua
anak lainnya yang duduk di dalam pos ronda. Asap rokok mengepul, memenuhi pos
tersebut. Memang sudah seminggu aku tak bertemu dengan mereka. Bantu – bantu
tetangga yang lagi punya hajat.
“Sori
bro, ga sempet kesini. Banyak makanan di rumah. Ha..ha..ha..”
Kami
pun tertawa bebarengan. Masalah di rumah tadi rasanya sudah hilang tak tau
kemana. Beginilah hidup. Bahagia. Aku tersenyum sendiri pada diriku. Sinis.
“Ada
kabar apa bro?” aku membuka obrolan.
“Wah,
kemarin kamu ga ikut sih. Seru men!” kata Andri yang ada di pos ronda,
beringsut dari duduknya. Rambut panjangnya dikucir seperti ekor kuda.
“Lho,
emang ada apaan sih?” tanyaku menyelidik. Mataku menatap mereka bertiga satu
persatu. Meminta jawaban.
Andra
membuang putung rokonya yang sudah habis. Beralih posisi, duduk di pinggiran
pos ronda. Spertinya dia yang akan bercerita. Memang anaknya suka ngomong. Kalau
lagi cerita pasti bersemangat. Menggebu-gebu.
Kami
suka memanggil Andra dan Andri dengan saudara ‘kembar’, karena nama mereka yang
mirip. Saudara kembar, beda ayah, lain ibu. Ya, begitulah, kalau aku dan Tomi
lagi suka usil, ngledekin mereka berdua. Apalagi si Andra, pasti selalu jadi
sasaran ledekan kami. Pasalnya, dia beda banget sama si Andri. Andri berambut
panjang lurus, sedangkan Andra berambut pendek dan ikal, keriting.
“Gini
bro! Kemarin ada anak baru di jalanan. Anak pindahan dari Bandung. Bawaannya Satria
FU. Tiger si Tomi aja kalah. Kalah jauuuuh coy! Tiga menit!
Bayangin, 3 menit!” Andra nyerocos bak hujan lebat di siang bolong sambil
mengacungkan tiga jarinya.
“Motor
yang lain pun ga ada yang berani nglawan bro. Parah! Dan lebih parahnya lagi,
jokinya ceweeek!” ujar Andra melanjutkan ceritanya.
Aku
hanya bengong mendengar cerita Andra. Benarkah seperti itu?? Aku masih terdiam
di atas sepeda motorku. Ga mungkin! Aku masih belum percaya.
“Bener
deh. Kalau kamu belum percaya sama kehebatannya mending sekarang kita
kesana aja. Gimana?” ajak Tomi membuyarkan kebengonganku.
“Oke!
Kita cabut!”
Suara
knlapot kami menderu-deru. Membahana. Membuncah keheningan malam. Kemudian
menghilang di ujung gang.
***
“Pak,
Aris tu masih seperti anak kecil. Jadi ngingetinnya ndak bisa dengan
cara keras,” ibu mencoba menenangkan diri bapak.
Sejenak,
ruang tamu itu lengang. Sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar riuh.
Diselingi suara burung hantu yang terdengar lamat-lamat.
“Sudah
dua tahun cuti sekolah. Katanya mau nyari kerja dulu. Ee, ga kerja juga.
Disuruh nerusin kuliah juga ga mau. Maunya apa tu anak,” jelas bapak dengan
nada kesal.
“Iya,
ibu juga tahu. Aris tu ndak seperti Husna, yang suka dengan akademis. Aris
tu suka dolan, jalan-jalan sama temennya.”
“Nah,
temen-temennya itu yang ngasih pengaruh buruk. Main sampe malem. Paginya tidur
sampe siang. Ikut-ikutan merokok. Dikasih tau masih aja bandel. Gimana ga bikin
jengkel tu?”
Bapak
meremas-remas jari tangannya sendiri. Amarahnya belum begitu reda.
Suasana
pun hening kembali. Ibu masih berpikir keras, mencari cara untuk mendamaikan
keduanya. Mencari cara untuk menasihati Aris.
***
Malam
tu pun aku berduel dengan cewek Bandung yang konon kata si Andra hebatnya bukan
main. Kali ini kami bertaruh sirkuit favoritku. Jalanan yang selama
bertahun-tahun menjadi milikku, menjadi rute kebanggan sepanjang ‘karir’ balap
liarku.
Medan
yang cukup gelap. Hanya diterangi beberapa lampu jalan. Jalanan berbukit-bukit
yang penuh dengan tikungan. Hanya ada beberapa track lurus. Sebelah
kanan gunung, sebelah kiri tebing yang dalam dan curam. Tak ada pilihan. Aku
bertaruh jalanan ini akan menjadi milik sang pemenang. Sudah empat kali aku
bertanding dengannya sejak cerita Andra di pos ronda. Dan kami seri, dua sama. Malam
ini adalah malam penentuan!
“Okay?”
tanya joki penantang itu padaku.
“Oke.
Deal!” sahutku.
Balapan
pun dimulai!
***
Aku
memacu sepeda motorku lebih kencang lagi. Seakan – akan jalanan ini hanya
milikku sendiri. Tak peduli kiri kanan dan belakang. Setiap tikungan kulahap
habis. Terlebih lagi jalanan lurus, tarikan gasku pun semakin keras. Aku sudah
tak sabar lagi!
Hingga
akhir lap aku masih ingat. Namun, di tikungan terakhir, saat aku memikirkan
ibu, tiba – tiba…. Gelap.
“Nak,
kapan kamu pulang?”
Suara
itu kudengar, begitu lembut.
EPILOG
“Hufffh…”
aku menarik napas dalam-dalam.
Begitu
lega. Tak terasa buiran-butiran kristal itu meleleh di pipiku.
Sore
ini memang masih lengang. Warna senja oranye berubah kemerah-merahan. Petang
mulai datang. Hinggap di rumah yang jarang kudatangi ini.
Ya,
aku benar-benar ada di rumah. Namun, kerinduan itu tak pernah hilang meski aku
di rumah sendiri, di tempat kelahiranku. Aku benar-benar rindu.
Aku
menyesal. Benar-benar menyesal. Mengapa sakit jantung ibu kambuh di saat aku
butuh. Sungguh, aku menyesal. Ingin rasanya aku kembali pada tiga bulan yang
lalu. Aku ingin mengulangi waktu!
“Hufffh…”
sekali lagi kuambil napas lebih dalam.
“Kak
Aris!” teriakan adikku, Husna, membuyarkan lamunanku.
“Masuk
ke dalam yuk! Udah mau buka tuh,” imbuhnya setelah dekat denganku.
“Yuk!”
jawabku dengan memasang senyum sebaik mungkin.
Husna
membalas senyumku dengan senyumnya yang lebih lebar. Tanpa berkata sepatah kata
pun. Seolah-olah dia tau apa kulamunkan barusan, apa yang kuinginkan. Sejak
lulus dari SMA dia memang tumbuh semakin dewasa. Aku malu pada diriku sendiri.
Sebentar
lagi adzan maghrib berkumandang. Husna mendorong kursi rodaku. Membawaku masuk
ke dalam rumah. Ya, rumah. Aku telah pulang ke rumah.
*END*
Ya
Allah ya Rabb…
Aku
rindu dengan RamadhanMu
Ingin
rasanya setiap bulan menjadi bulan Ramadhan
Ya
Allah ya Rabb…
Aku
bertaubat kepadaMu
Bertaubat
atas dosa-dosaku
Ya
Allah ya Rabb…
Ramadhan
ini pintu pintu surga terbuka
Maka
bukakanlah untukku dan jangan Kau tutup kembali bagiku
Ramadhan
ini pintu – pintu neraka tertutup
Maka
tutuplah untukku dan jangan Kau buka kembali bagiku
Ramadhan
ini syaithan-syaithan dibelenggu
Maka
aku mohon kepadaMu ya Allah, jangan pernah lagi syaithan mengendalikan diriku
Jogja, 18 Juli 2012, 15.50 WIB
28 Sya’ban 1433 H
Thanks to my little brother,:) semoga kita selalu dalam lindungan, hidayah dan rahmat
Allah’
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. bertanya
kepada Rasulullah,”Wahai Rasulullah, apa amal yang paling utama di bulan ini?”
Rasulullah menjawab,”Wahai Abal Hasan, amal yang paling utama di bulan ini
adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.”
(thanks a lot for uda:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar