“Denooook!”
suara teriakan ibu dari halaman terdengar hingga ke kamarku.
Aku terbangun
mendengar teriakan ibuku barusan. Setengah kaget aku meloncat dari tempat
tidur. Berlari kecil ke teras rumah.
“Sudah
dibilangin berkali – kali, masih aja bandel,” kata ibu setengah mengomel.
Aku
yang sudah sampai teras rumah langsung tertawa cekikikan.
Sari,
adik bungsuku yang berumur 4 tahun, sedang dimandiin ibu. Dia habis bermain
lumpur dengan teman – temannya. Sempat kulihat tadi sekujur tubuhnya penuh
lumpur, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya terlihat bola matanya
yang hitam dan giginya yang putih bersih ketika tersenyum menyeringai menjawab
omelan ibu. Innocence.
Tadi
pagi memang hujan hujan lebat yang tak kunjung reda hingga siang hari.
Gerimis
mengawalku dari sekolah sampai rumah. Pulang sekolah bersepeda dengan teman –
teman pada cuaca seperti itu sangat mengasyikkan. Melewati sawah – sawah nan
hijau, kebun salak, pemukiman penduduk yang masih jarang, dan jalan – jalan
setapak yang belum beraspal. Tak ada debu beterbangan. Belum ada asap kendaraan
bermotor yang menyesakkan dada. Pokoknya semua terasa fresh. “Hemm,
segarnyaaa,” gumamku.
“Kak
Anis, tadi ngga ke rumah bu Budi?” tanya ibuku setelah selesai mandiin
si Bandel, begitu julukanku pada Sari. Meskipun aku tak kalah bandel dengan dia
tapi tetap saja aku menyamatkan ‘gelar’ itu padanya.
“Ngga
Bu. Belum hafal,” jawabku singkat sambil tersenyum was-was.
“Kalau
belum hafal, nanti kan diajarin sama bu Budi,” ibu menasihatiku sembari
mengeringkan tubuh Sari dengan handuk biru, warna kesukaannya.
“Tapi,…”
“Iya,
bu Budi kan orangnya baik. Iya kan Bu?” kata Sari memotong omonganku.
“Tapi
Anis kan malu kalau belum hafal Bu,” jawabku sambil menjulurkan lidah pada
Sari. Sari diam saja, masih mencari pembelaan dari ibu. Bola matanya berbinar
mengharapkan sesuatu.
“Ya
sudah, nanti malam kak Anis belajar menghafal sama ibu. Besok sore harus
latihan ke rumah bu Budi. Tinggal seminggu lagi kan?”
“Iya
Bu,” jawabku pendek, tersenyum sambil menjulurkan lidah lagi ke arah Sari. Kali
ini dia menyerah, wajahnya tertunduk lesu.
“Horeeee!”
sorakku dalam hati.
***
Adzan
ashar sudah berkumandang setengah jam yang lalu.
Adikku
sedang belajar naik sepeda dengan temannya, anak tetangga sebelah rumah.
Kulihat dari jendela kamarku dia tampak ‘iri’ melihat temannya sudah bisa
bersepeda dengan lancar.
“Yani,
gantian dong. Kamu kan sudah bisa. Dua putaran saja ya?” pinta adikku pada
temannya.
“Huffh…”
Aku yang sedari tadi duduk menghadap secarik kertas mendengus kesal. Sehabis
sholat ashar tadi langsung masuk kamar dan berusaha berkonsentrasi. Tapi belum
ada hasil, nihil. Sebaris ingat, ditambah baris lain, baris yang sebelumnya
lupa lagi. Tiba-tiba saja pikiranku buyar. Buyar hanya gara-gara satu kata.
Satu benda. Apalagi ditingkahi suara adikku dan temannya yang sedang berlatih
sepeda.
“Huffh…”
sekali lagi aku mendengus kesal.
“Sayang,
kamu ngga ke rumah bu Budi lagi sore ini?” suara ibu mengagetkanku yang
sedang melamun ria.
“Eh,
eng...ngga Bu,” jawabku kaget.
“Masih
belum hafal ya? Ya sudah, nanti malam belajar menghafal lagi sama ibu. Ibu mau
berangkat pengajian ke masjid. Sekarang dihafalin dulu sambil jaga adikmu ya.
Assalamu’alaykum.”
“Baik
Bu. Wa’alaykumsalam,” jawabku sembari mencium tangan ibuku.
Malam
kemarin lusa memang aku belajar mengahafal puisi dengan ibu. Tapiiiii, masih
belum hafal juga. Ayah sempat tertawa kecil melihat ibu yang gemes mengajariku.
“Dua
baris dulu saja yang dihafalin,” begitu kata beliau.
Kemarin
sore dengan rasa malu yang tertahan aku ke rumah bu Budi. Alhamdulillah, bu
Budi dengan sabarnya melatih diriku yang hanya bermodal dua baris puisi!
Berlatih vocal, berlatih mimik, berlatih intonasi. Dan pastinya, sebelum pulang
beliau memberi peer kepadaku dengan setengah berbisik,”Besok ditambah dua baris
lagi ya kak Anis.” Aku nyengir, mengangguk.
“Aduuuuuuhh…!”
Aku
melongok keluar jendela. Kulihat Sari terjatuh dari sepedanya. Lututnya yang
berdarah ditiup-tiup.
“Kamu
ngga kenapa-kenapa kan?” tanya Yani cemas.
“Gapapa
kok. Ayo lanjutin!”
Si
Bandel itu beringsut dari duduknya lalu mengangkat sepeda dan mulai menaikinya
kembali.
“Alhamdulillah,
syukurlah. Belum sampai nangis,” batinku.
Tak
berapa lama.
“Haduuuh…”
teriakan adikku kembali terdengar. Kali ini lebih lirih.
“Besok
lagi ya main sepedanya Ri?” kata Yani ingin mengakhiri ‘penderitaan’ Sari yang
terluka lengan kirinya.
“Ga
mau, harus bisa sekarang!” Sari tetap saja menaiki sepeda Yani dengan
santainya. Tapi, sampai beberapa meter terjatuh lagi. Kali ini dia tak
berteriak. Dinaiki lagi sepeda mini itu untuk mencapai finish satu
putaran halaman.
“Horeeeee!
Pinish!” teriak Sari mengakhiri perjuangannya hari ini.
“Horeeee!”
Yani ikut bersorak riang sambil tepuk tangan.
“Udahan
dulu deh.Besok lagi ya Yan. Besok aku pasti bisa lancar.” Senyum Sari
mengembang. Bangga.
“Oke.
Aku pulang dulu ya Ri,” sahut Yani.
“Oke.
Aku mau ganggu kak Anis dulu. Minta diobatin lukanya,” senyum kecilnya
tergambar seolah habis menemukan ide cemerlang.
“Daaaaah
Sari!”
“Upss,”
aku beringsut ke kertas puisiku. “Awas ya kalau minta bantuan. Lagi sibuk.
Dasar bandel!” gumamku.
Namun,
ada sesuatu yang tak kusadari yang memberiku sebuah pelajaran berharga. Yang
membuatku rajin berlatih ke rumah bu Budi. Tersenyum sendiri.
***
Akhirnya,
seminggu pun berlalu.
Waktu
yang ditunggu-tunggu pun telah tiba.
Diri
ini rasanya sudah tak menginjakkan kaki di bumi. Tak terbayangkan.
Gugup.
Harap. Cemas. Takut. Bercampur jadi satu.
Lomba
baca puisi antar SMP se-Kecamatan sudah dimulai sejak tadi pagi. Sudah setengah
hari berjalan hingga tiba saatnya untuk menentukan sang Pemenang.
Ibu
dan adikku mengantarku ke Kecamatan tadi pagi. Menunggu hingga giliranku tiba.
Cukup lama sampai-sampai adikku berkata cemas,”Kak Anis sudah daptar belum sih?
Kok ga dipanggil-panggil?”
Aku
dan ibuku hanya tersenyum kecil. Ibu tak terlalu peduli dan hanya
berkata,”Sudah sayang. Kak Anis kan sudah pake nomer tu di dadanya.”
Ibu
menunjuk nomor pesertaku. Angka 32 tertera disana. Berbentuk bintang dengan
warna biru langit. Warna kesukaan Sari. Dan aku tahu kesukaannya yang lain. Tersenyum
lagi.
“Juara
kedua lomba baca puisi tingkat Kecamatan adalah…”
Suara
juri membuat hatiku berdegup kencang. Juara tiga sudah diumumkan tadi. Aku rasa
aku sudah berusaha keras 4 hari ini. Semua puisi sudah kuhafal. Lengkap dengan
intonasi dan mimiknya. Harapanku pada satu kata itu kembali menyeruak. Satu
benda. “Mungkin. Pasti mungkin,” batinku cemas.
“Anisa!”
Aku
mendongak kaget. Apa?! Siapa?!
Aku
menoleh ke kanan. Ada seorang yang melambaikan tangan. Mendekat.
“Bagaimana
hasilnya? Udah diumumin kan?” kata Ayu, teman sekelasku.
“Alhamdulillah.
Lancar. Ini udah nyampe juara kedua. Yang lain mana? Kok ga ikut?” tanyaku
lega.
“Yang
lain langsung pulang. Ngerjain PR dari pak Hasan.”
Suara
tepuk tangan penonton terdengar riuh rendah. Juara kedua sudah diumumkan. Dan
bukan aku. Gugup. Harap. Cemas lagi.
“Dan
inilah yang dinanti-nanti! Juara pertama lomba puisi kali ini adalah…” suara
juri kembali terpotong untuk membat semua peserta berdebar-debar.
“Anisa…
Purwanti!”
Aku
setengah tak percaya. Gugup itu tiba-tiba menghilang. Menghilang bersama rasa
cemas. Debar jantung juga mulai reda. Panas dingin mulai terkendali. Dan rasa
harap itu pun juga hilang. Sirna.
“Kak
Anis kan namanya Anisa Pertiwi. Kenapa yang dipanggil Anisa Purwanti Bu?” tanya
Sari dengan wajah polosnya.
Ibu
tersenyum lalu berkata, “Itu artinya pialanya buat kak Anisa Purwanti, belum
buat kak Anisa Pertiwi. Kalau kak Anis ikhlas, Allah akan ngasih yang lebih
baik buat kak Anis.” Ibu mengusap lembut kepala adikku yang terbalut kerudung
mungil. Sari manggut-manggut. Sok ngerti.
“Terus
Allah ngasih apa Bu ke kak Anis? Apa yang lebih baik dari piala? Piala itu kan
bagus. Guede. Kinclong.” Tangan Sari ikut-ikutan menggambarkan bentuk piala
itu.
“Allah
ngasih ini!” Aku mengulurkan tanganku ke arah muka Sari.
“Asyiiiiiik!
Coklaaaaat!”
“Kak
Anis dapet coklat dari mana?” Setelah disambar, sepotong cokelat itu langsung
dibuka oleh Sari.
Aku
tersenyum, “Dari toko lah. Masak dari bapak juri.”
“Ayo
pulang! Sudah bubar sekolahnya,” ajak ibuku.
“Eh,
tapi kenapa kak Anis ngasih coklat ke Sari?” tanyanya sambil mengunyah coklatnya.
Aku
tak mempedulikan pertanyaan Sari. Tak kujawab pertanyaannya dengan serius, “Ada
deh.” Dia terus merengek sambil terus berjalan menuju gerbang sekolah. Sampai
akhirnya dia menyerah, “Kak Anis baik deh.”
Aku
pulang dengan perasaan lega. Ada hal yang jauh berharga daripada sebuah piala. Terima
kasih Sari.^^
“Ya Allah, ya Rabb kami. Kumpulkanlah kami dengan
saudara-saudara kami di jannahMu. Aamiin.”
Jogja, 6 Juli 2012
Beradu ketikan dengan palu pak tukang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar