Rabu, 11 Juli 2012

Mengejar Bintang


“Denooook!” suara teriakan ibu dari halaman terdengar hingga ke kamarku.
Aku terbangun mendengar teriakan ibuku barusan. Setengah kaget aku meloncat dari tempat tidur. Berlari kecil ke teras rumah.

“Sudah dibilangin berkali – kali, masih aja bandel,” kata ibu setengah mengomel.

Aku yang sudah sampai teras rumah langsung tertawa cekikikan.
Sari, adik bungsuku yang berumur 4 tahun, sedang dimandiin ibu. Dia habis bermain lumpur dengan teman – temannya. Sempat kulihat tadi sekujur tubuhnya penuh lumpur, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya terlihat bola matanya yang hitam dan giginya yang putih bersih ketika tersenyum menyeringai menjawab omelan ibu. Innocence.

Tadi pagi memang hujan hujan lebat yang tak kunjung reda hingga siang hari.
Gerimis mengawalku dari sekolah sampai rumah. Pulang sekolah bersepeda dengan teman – teman pada cuaca seperti itu sangat mengasyikkan. Melewati sawah – sawah nan hijau, kebun salak, pemukiman penduduk yang masih jarang, dan jalan – jalan setapak yang belum beraspal. Tak ada debu beterbangan. Belum ada asap kendaraan bermotor yang menyesakkan dada. Pokoknya semua terasa fresh. “Hemm, segarnyaaa,” gumamku.

“Kak Anis, tadi ngga ke rumah bu Budi?” tanya ibuku setelah selesai mandiin si Bandel, begitu julukanku pada Sari. Meskipun aku tak kalah bandel dengan dia tapi tetap saja aku menyamatkan ‘gelar’ itu padanya.
Ngga Bu. Belum hafal,” jawabku singkat sambil tersenyum was-was.
“Kalau belum hafal, nanti kan diajarin sama bu Budi,” ibu menasihatiku sembari mengeringkan tubuh Sari dengan handuk biru, warna kesukaannya.
“Tapi,…”
“Iya, bu Budi kan orangnya baik. Iya kan Bu?” kata Sari memotong omonganku.
“Tapi Anis kan malu kalau belum hafal Bu,” jawabku sambil menjulurkan lidah pada Sari. Sari diam saja, masih mencari pembelaan dari ibu. Bola matanya berbinar mengharapkan sesuatu.
“Ya sudah, nanti malam kak Anis belajar menghafal sama ibu. Besok sore harus latihan ke rumah bu Budi. Tinggal seminggu lagi kan?”
“Iya Bu,” jawabku pendek, tersenyum sambil menjulurkan lidah lagi ke arah Sari. Kali ini dia menyerah, wajahnya tertunduk lesu.
“Horeeee!” sorakku dalam hati.

***
Adzan ashar sudah berkumandang setengah jam yang lalu.
Adikku sedang belajar naik sepeda dengan temannya, anak tetangga sebelah rumah. Kulihat dari jendela kamarku dia tampak ‘iri’ melihat temannya sudah bisa bersepeda dengan lancar.
“Yani, gantian dong. Kamu kan sudah bisa. Dua putaran saja ya?” pinta adikku pada temannya.

“Huffh…” Aku yang sedari tadi duduk menghadap secarik kertas mendengus kesal. Sehabis sholat ashar tadi langsung masuk kamar dan berusaha berkonsentrasi. Tapi belum ada hasil, nihil. Sebaris ingat, ditambah baris lain, baris yang sebelumnya lupa lagi. Tiba-tiba saja pikiranku buyar. Buyar hanya gara-gara satu kata. Satu benda. Apalagi ditingkahi suara adikku dan temannya yang sedang berlatih sepeda.
“Huffh…” sekali lagi aku mendengus kesal.

“Sayang, kamu ngga ke rumah bu Budi lagi sore ini?” suara ibu mengagetkanku yang sedang melamun ria.
“Eh, eng...ngga Bu,” jawabku kaget.
“Masih belum hafal ya? Ya sudah, nanti malam belajar menghafal lagi sama ibu. Ibu mau berangkat pengajian ke masjid. Sekarang dihafalin dulu sambil jaga adikmu ya. Assalamu’alaykum.”
“Baik Bu. Wa’alaykumsalam,” jawabku sembari mencium tangan ibuku.
Malam kemarin lusa memang aku belajar mengahafal puisi dengan ibu. Tapiiiii, masih belum hafal juga. Ayah sempat tertawa kecil melihat ibu yang gemes mengajariku.
“Dua baris dulu saja yang dihafalin,” begitu kata beliau.
Kemarin sore dengan rasa malu yang tertahan aku ke rumah bu Budi. Alhamdulillah, bu Budi dengan sabarnya melatih diriku yang hanya bermodal dua baris puisi! Berlatih vocal, berlatih mimik, berlatih intonasi. Dan pastinya, sebelum pulang beliau memberi peer kepadaku dengan setengah berbisik,”Besok ditambah dua baris lagi ya kak Anis.” Aku nyengir, mengangguk.

“Aduuuuuuhh…!”
Aku melongok keluar jendela. Kulihat Sari terjatuh dari sepedanya. Lututnya yang berdarah ditiup-tiup.
“Kamu ngga kenapa-kenapa kan?” tanya Yani cemas.
Gapapa kok. Ayo lanjutin!”
Si Bandel itu beringsut dari duduknya lalu mengangkat sepeda dan mulai menaikinya kembali.
“Alhamdulillah, syukurlah. Belum sampai nangis,” batinku.

Tak berapa lama.
“Haduuuh…” teriakan adikku kembali terdengar. Kali ini lebih lirih.
“Besok lagi ya main sepedanya Ri?” kata Yani ingin mengakhiri ‘penderitaan’ Sari yang terluka lengan kirinya.
“Ga mau, harus bisa sekarang!” Sari tetap saja menaiki sepeda Yani dengan santainya. Tapi, sampai beberapa meter terjatuh lagi. Kali ini dia tak berteriak. Dinaiki lagi sepeda mini itu untuk mencapai finish satu putaran halaman.

“Horeeeee! Pinish!” teriak Sari mengakhiri perjuangannya hari ini.
“Horeeee!” Yani ikut bersorak riang sambil tepuk tangan.
“Udahan dulu deh.Besok lagi ya Yan. Besok aku pasti bisa lancar.” Senyum Sari mengembang. Bangga.
“Oke. Aku pulang dulu ya Ri,” sahut Yani.
“Oke. Aku mau ganggu kak Anis dulu. Minta diobatin lukanya,” senyum kecilnya tergambar seolah habis menemukan ide cemerlang.
“Daaaaah Sari!”
“Upss,” aku beringsut ke kertas puisiku. “Awas ya kalau minta bantuan. Lagi sibuk. Dasar bandel!” gumamku.
Namun, ada sesuatu yang tak kusadari yang memberiku sebuah pelajaran berharga. Yang membuatku rajin berlatih ke rumah bu Budi. Tersenyum sendiri.

***
Akhirnya, seminggu pun berlalu.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun telah tiba.
Diri ini rasanya sudah tak menginjakkan kaki di bumi. Tak terbayangkan.
Gugup. Harap. Cemas. Takut. Bercampur jadi satu.

Lomba baca puisi antar SMP se-Kecamatan sudah dimulai sejak tadi pagi. Sudah setengah hari berjalan hingga tiba saatnya untuk menentukan sang Pemenang.
Ibu dan adikku mengantarku ke Kecamatan tadi pagi. Menunggu hingga giliranku tiba. Cukup lama sampai-sampai adikku berkata cemas,”Kak Anis sudah daptar belum sih? Kok ga dipanggil-panggil?”
Aku dan ibuku hanya tersenyum kecil. Ibu tak terlalu peduli dan hanya berkata,”Sudah sayang. Kak Anis kan sudah pake nomer tu di dadanya.”
Ibu menunjuk nomor pesertaku. Angka 32 tertera disana. Berbentuk bintang dengan warna biru langit. Warna kesukaan Sari. Dan aku tahu kesukaannya yang lain. Tersenyum lagi.

“Juara kedua lomba baca puisi tingkat Kecamatan adalah…”
Suara juri membuat hatiku berdegup kencang. Juara tiga sudah diumumkan tadi. Aku rasa aku sudah berusaha keras 4 hari ini. Semua puisi sudah kuhafal. Lengkap dengan intonasi dan mimiknya. Harapanku pada satu kata itu kembali menyeruak. Satu benda. “Mungkin. Pasti mungkin,” batinku cemas.
“Anisa!”
Aku mendongak kaget. Apa?! Siapa?!
Aku menoleh ke kanan. Ada seorang yang melambaikan tangan. Mendekat.
“Bagaimana hasilnya? Udah diumumin kan?” kata Ayu, teman sekelasku.
“Alhamdulillah. Lancar. Ini udah nyampe juara kedua. Yang lain mana? Kok ga ikut?” tanyaku lega.
“Yang lain langsung pulang. Ngerjain PR dari pak Hasan.”

Suara tepuk tangan penonton terdengar riuh rendah. Juara kedua sudah diumumkan. Dan bukan aku. Gugup. Harap. Cemas lagi.
“Dan inilah yang dinanti-nanti! Juara pertama lomba puisi kali ini adalah…” suara juri kembali terpotong untuk membat semua peserta berdebar-debar.
“Anisa… Purwanti!”
Aku setengah tak percaya. Gugup itu tiba-tiba menghilang. Menghilang bersama rasa cemas. Debar jantung juga mulai reda. Panas dingin mulai terkendali. Dan rasa harap itu pun juga hilang. Sirna.
“Kak Anis kan namanya Anisa Pertiwi. Kenapa yang dipanggil Anisa Purwanti Bu?” tanya Sari dengan wajah polosnya.
Ibu tersenyum lalu berkata, “Itu artinya pialanya buat kak Anisa Purwanti, belum buat kak Anisa Pertiwi. Kalau kak Anis ikhlas, Allah akan ngasih yang lebih baik buat kak Anis.” Ibu mengusap lembut kepala adikku yang terbalut kerudung mungil. Sari manggut-manggut. Sok ngerti.
“Terus Allah ngasih apa Bu ke kak Anis? Apa yang lebih baik dari piala? Piala itu kan bagus. Guede. Kinclong.” Tangan Sari ikut-ikutan menggambarkan bentuk piala itu.
“Allah ngasih ini!” Aku mengulurkan tanganku ke arah muka Sari.
“Asyiiiiiik! Coklaaaaat!”
“Kak Anis dapet coklat dari mana?” Setelah disambar, sepotong cokelat itu langsung dibuka oleh Sari.
Aku tersenyum, “Dari toko lah. Masak dari bapak juri.”
“Ayo pulang! Sudah bubar sekolahnya,” ajak ibuku.
“Eh, tapi kenapa kak Anis ngasih coklat ke Sari?” tanyanya sambil mengunyah coklatnya.
Aku tak mempedulikan pertanyaan Sari. Tak kujawab pertanyaannya dengan serius, “Ada deh.” Dia terus merengek sambil terus berjalan menuju gerbang sekolah. Sampai akhirnya dia menyerah, “Kak Anis baik deh.”
Aku pulang dengan perasaan lega. Ada hal yang jauh berharga daripada sebuah piala. Terima kasih Sari.^^

“Ya Allah, ya Rabb kami. Kumpulkanlah kami dengan saudara-saudara kami di jannahMu. Aamiin.”

Jogja, 6 Juli 2012
Beradu ketikan dengan palu pak tukang.
 thanks a lot for my friend whose write this story for me^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search Box

Followers

Search This Blog